Kutipan Wawancara dengan Hamzah Haz

Hanya wawancara biasa, dengan mantan pejabat pula.

Tapi mungkin ada gunanya.

Mantan Wakil Presiden RI dan Ketua Umum PPP ini berbicara tentang merosotnya pamor partai Islam, dinamika politik dan demokrasi Indonesia, serta nikmatnya kehidupan setelah tak lagi menjadi “orang penting” di negeri ini.

Sebelumnya, saya hanya dijadwalkan punya waktu selama 30 menit. Namun perbincangan kemudian menjadi sangat akrab, dan akhirnya molor sampai hampir 2 jam, dan baru berhenti setelah azan Ashar berkumandang di dalam rumah, tempat berlangsungnya wawancara.

Ya, di dalam rumah, karena kediamannya di Jalan Kebon Pedes, Bogor itu, memang telah diubah menjadi masjid, dan hanya menyisakan sebuah kamar tamu, kamar tidur, dan teras yang tak terlalu luas, untuk kepentingan pribadinya.

Berikut petikannya.

Terus terang, Bapak tampak jauh lebih segar setelah tak lagi menjadi pejabat tinggi. Biasanya, orang yang tak lagi menjabat, justru tampak langsung kusut dan tak bersemangat.

Karena jabatan itu sesungguhnya beban, amanah. Ketika mengemban tugas negara, waktu dan pikiran kita sepenuhnya tersita untuk itu, bahkan merampas jatah waktu dengan keluarga. Saya memang merasa lebih nyaman saat ini. Mungkin karena sekarang lebih banyak waktu luang, bisa lebih lama berkumpul bersama keluarga, dan tak ada lagi beban maupun target yang mengejar-ngejar saya.

Padahal banyak orang mati-matian mengejar jabatan, yang sebenarya merupakan beban dan target-target yang akan menyusahkan dirinya sendiri, ya Pak?

Ya. Tapi mungkin tahapan mengejar seperti itu pun perlu dilalui seseorang. Yang penting pada akhirnya dia bisa mengerti apa hakikat dari itu semua. Jangan malah seperti kata orang, stress karena post power syndrom

Lantas, mengapa orang lain justru tampak menderita, post power syndrom itu, setelah tak lagi menjabat?

Tentu saja, kita tak boleh begitu saja menyimpulkan seseorang itu menderita atau tidak ya. (Tersenyum kecil). Tapi jika memang demikian adanya, berarti mereka memposisikan jabatan itu di atas segala-galanya, dan akhirnya menempuh segala cara untuk meraih dan mempertahankannya. Itu tentu saja tidak baik. Tidak baik untuk bangsa ini, dan tidak baik pula untuk dirinya sendiri.

Jadi, sama sekali tidak ingin “turun gunung” lagi?

Tidak. Kemarin itu, saya menemui Pak SBY di Cikeas, adalah atas desakan teman-teman di partai, karena memang ada sedikit gejolak di tubuh PPP. Dan ketika itu sudah selesai, saya kembali mundur sepenuhnya. Regenerasi kemimpinan itu perlu. Setiap orang punya gilirannya. Jika regenerasi itu tak kita biasakan, suatu saat bangsa ini akan berada pada posisi yang gawat, ketika tak ada yang bisa memimpin.

Mengapa partai Islam seperti kehilangan pamor. Bahkan dari 3 pasang kandidat Capres, tak ada representasi kekuatan politik Islam?

Ya, ini memang menyedihkan ya. Kelihatannya, karena partai Islam sendiri tidak yakin dengan keislamannya. Semua seperti bergerak ke tengah, malu-malu, seperti tidak merasa nyaman dengan identitas Islam itu sendiri. PPP itu jelas-jelas partai Islam, lambangnya saja Ka’bah. Makanya dulu ketika masih menjadi ketua umum, kepada kawan-kawan yang tampaknya berusaha menggiring PPP menjadi partai tengah, saya sering bilang, ‘Kalian ganti saja lambang Ka’bah itu, buat jadi bintang lagi atau apalah’.

Ada semacam pemahaman yang salah di kalangan partai Islam, termasuk orang-orang tertentu di PPP, bahwa di era demokratisasi dan globalisasi ini, identitas Islam tak lagi laku dijual. Siapa bilang? Turki, negara yang lebih sekuler dari kita, lebih maju dan modern, bahkan sudah menjadi bagian dari komunitas Eropa, partai Islam ternyata bisa menang di sana?

Saya yakin, di negeri yang mayoritas muslim ini, masih sangat banyak umat yang merindukan munculnya kekuatan politik Islam, minimal seperti Pemilu tahun 1955. Hanya saja mereka tidak melihat ada partai yang sungguh-sungguh menunjukkan diri dengan identitas Islamnya.

Atau karena mereka melihat isu agama hanya sekadar menjadi jualan partai Islam?

Bisa jadi begitu, tapi menyikapi hal itu, langkah yang semestinya diambil bukan justru meminggirkan identitas Islam, dengan ikut-ikutan mengedepankan demokratisasi atau pluralisme. Tetapi memperbaiki diri. Kita harus mengenalkan Islam sebagai sebuah panduan kehidupan yang utuh, bukan hanya asesoris dalam retorika politik.

Dunia sekarang melihat bagaimana kapitalisme ternyata bisa runtuh, dan orang mulai melirik sistem ekonomi syariah. Mengapa di saat yang sama partai Islam justru terkesan malu-malu dengan identitasnya?

Islam harus dipahami sebagai sebuah jalan keadilan, sebagai sebuah kekuatan mengangkat derazat kehidupan kalangan bawah. Islam juga menghargai hak-hak politik dan individu, bahkan Pancasila, dasar negara kita, juga menganut ruh Islam pada semua silanya.

Partai Islam, bersama seluruh komponen kekuatan ummat lainnya, harus menjadi yang terdepan untuk menangkis stigma buruk yang ditempelkan kepada agama yang mulia ini, tidak hanya di level domestik, tetapi juga internasional.

Anda masih ingat setelah kejadian WTC di New York dan peledakan Bom Bali, yang lantas diikuti oleh gencarnya kekuatan internasional memberantas apa yang mereka sebut terorisme Islam itu, saya bersuara lantang sendirian menyatakan tidak ada teroris Islam di Indonesia. Bahkan karena pernyataan itu, saya sempat dijuluki sebagai “Pelindung Teroris”.

Tetapi apa karena mendapat tentangan, karena menjadi bahan olok-olok orang Barat, kita lantas mundur? Tentu saja tidak. Dulu saya juga menyatakan, bahwa saya bukan membela teroris tetapi membela Islam yang seenaknya dihubung-hubungkan dengan terorisme.

Bukan mau menyatakan saya ini hebat ya, tetapi saya kira konsistensi seperti itu yang perlu ditunjukkan oleh partai-partai Islam saat ini, sehingga kita punya posisi tawar, baik dalam level politik nasional, maupun pergaulan internasional, sekaligus punya tempat di hati umat.

Tahun 2002, Hamzah Haz memang menjadi headline berita nasional dan internasional, karena “pembelaannya” kepada mereka yang dituduh sebagai bagian dari terorisme. Tak kurang dari majalah berita paling terkemuka di dunia, TIME, dalam sebuah artikelnya menyebut orang-orang seperti Abu Bakar Ba’asyir memiliki kekuatan politik di Indonesia karena didukung oleh Hamzah Haz. Hamzah Haz juga digambarkan memiliki hubungan “sangat dekat” dengan Panglima Laskar Jihad, Jafar Umar Thalib dan Ketua FPI Habib Rizieq.

Mendapat kecaman begitu, Hamzah bukannya mundur, tetapi malah melancarkan serangan balik, bahwa terorisme sejati itu adalah apa yang dilakukan Amerika Serikat dengan menduduki Irak.

Pernyataannya berikut, kemudian menjadi sangat terkenal dan dikutip media internasipnal. “Actually, who is the terrorist, who is against human rights? The answer is the United States because they attacked Iraq. Moreover, it is the terrorist king, waging war!” (Sebenarnya, siapa yang teroris, yang melanggar HAM? Jawabannya adalah Amerika Serikat, karena mereka menyerang Irak. Tidak hanya itu, AS adalah rajanya teroris, yang telah menyebabkan terjadinya perang berkepanjangan).

*****

Jadi, apa aktivitas Bapak sehari-hari saat ini?

Saat ini saya fokus pada persiapan menuju hari kemudian. Saya sudah tua, setiap saat bisa saja mendapat panggilan yang tak bisa ditolak itu. Orang muda yang sangat sehat saja bisa tiba-tiba wafat, apalagi saya kan?

Kediaman saya di Jakarta saya jadikan pusat kegiatan majelis taklim. Rumah ini bahkan sudah saya wakafkan menjadi masjid. Jadi sudah tak boleh lagi saya gadaikan, apalagi jual. Sudah bukan hak saya lagi.

Rumah Hamzah Haz di Bogor itu memang berada di sebelah masjid megah berlantai dua, yang dibangun atas sumbangannya. Belakangan, rumah itu juga dijadikan bagian dari masjid, untuk menampung jamaah, dan seluruh lantainya ditutupi sajadah.

Dengan rumah yang telah menjadi masjid ini, apa privasi Bapak tidak terganggu?

Saya tanya Anda sekarang. Bagaimana mungkin kegiatan ibadah menjadi faktor pengganggu? Sebaliknya, justru membuat kita merasa sangat nyaman, dekat dengan Allah, makin menyadari bahwa segala-galanya adalah milik-Nya semata.

Bila memang jamaah masjid ini terus berkembang, pada saatnya saya juga siap keluar sepenuhnya dari rumah ini. Kalau saat ini, saya masih menggunakan sebuah ruang tamu, kamar tidur dan teras.

Ini merupakan sebuah bentuk keikhlasan kecil saya, cara bersyukur atas karunia Allah SWT yang luar biasa kepada saya. Saya pernah dipercaya menduduki berbagai jabatan penting, mulai dari pengurus dan ketua umum partai, menteri, menteri koordinator, bahkan wakil presiden. Itu sesuatu yang wajib saya syukuri.

Lelaki kelahiran Ketapang, Kalimantan Barat 15 Februari 1940 ini terpilih menjadi wakil presiden, mendampingi Megawati Soekarnoputri, setelah menyisihkan nama-nama besar seperti Ketua Umum Partai Golkar Akbar Tandjung, mantan Menko Polsoskam Susilo Bambang Yudhoyono, Menko Polsoskam Agum Gumelar, dan Siswono Yudo Husodo.

Bagaimana rasanya pernah mengalahkan Susilo Bambang Yudhoyono dan Akbar Tandjung?

(Tersenyum). Saya kira dinamika politik jangan kita pahami sebagai persoalan kalah menang. Waktu itu kawan-kawan di MPR mungkin melihat, perlu ada representasi Islam, untuk mendampingi Ibu Megawati yang sebelumnya sudah terpilih menjadi presiden. Mungkin Pak SBY dan Akbar Tandjung dianggap sebagai simbol nasionalis juga, jadi banyak yang mengarahkan suara kepada saya.

Waktu Bu Mega terpilih menjadi Wapres mendamping Gus Dur, dan saya gagal, saya juga tidak merasa dikalahkan. Komposisi politiknya kan memang membutuhkan repesentasi nasionalis, mengingat Gus Dur dianggap sebagai wakil Islam.

Waktu proses pemilihan pimpinan nasional masih berlangsung di MPR, soal representasi seperti itu masih bisa diperhatikan oleh anggota majelis. Jika sudah langsung seperti saat ini, seluruhnya tergantung rakyat. Ketika menjadi Wapres, dan Pak SBY kemudian menjadi Menko, hubungan kita tetap bagus, baik dalam soal pekerjaan maupun pribadi. Bahkan hingga saat ini. Itu artinya, tak ada yang merasa dikalahkan.

Pada pilpres 2004, mengapa “bercerai” dengan Megawati. Duet Bapak dengan dia kan tergolong harmonis?

Malah Bu Mega pernah bilang, beliau suka tipe wakil seperti saya. Namun karena berbagai hal, termasuk penolakan dari internal PPP sendiri, yang tidak menghendaki perempuan sebagai pemimpin, saya mundur. Bersama dengan Pak Agum, kami kemudian menjadi kandidat tersendiri.

Memang banyak juga yang menyayangkan. Mereka memperkirakan, jika saya maju mendampingi Bu Mega, kemungkinan bisa menang. Tapi semuanya itu sudah jadi ketentuan Allah SWT. Lagi pula, kalau saya terpilih jadi wapres lagi, wajah saya mungkin tidak sesegar ini kan? (Tersenyum lebar).

Mengapa hasil perolehan suara pasangan Hamzah-Agum saat itu sangat jauh dari empat kandidat lainnya?

Banyak faktor, termasuk salah paham dengan Pak Agum. Ternyata orang-orang yang berkomitmen mendukung Pak Agum itu hanya mau jika Pak Agum jadi No 1. Saya sebenarnya ikhlas saja, tetapi beliau sungkan menyampaikannya. Posisi saya waktu itu kan Wapres, Pak Agum Menko. Jadi, mereka semua mundur, dan kami maju tanpa dukungan finansial dari siapapun. Karena sudah terlanjur, kita memutuskan untuk maju terus.

Saya sempat tanya Pak Agum, berapa kekuatan dananya. Beliau jawab, paling Rp10 miliar. Saya bilang, “Ya sudah, Pak. Bismillah, kita maju saja. Jika Allah sudah berkehendak, tak ada yang mustahil.”

Masih mendapat pengawalan Paspampres Pak?

Selaku mantan wapres, saya memang masih berhak atas pengawalan. Tetapi saya rasa, tidak perlu lagi. Saya sudah jadi warga negara biasa, berbaur dengan rakyat. Semasa jadi wapres saja pun, pengawalan itu saya terima karena sudah menjadi ketentuan protokoler. Sebenarnya, saya merasa lebih nyaman tanpa pengalan ketat. Hanya ada satu orang polisi di sini, itu pun karena benar-benar tak bisa ditolak.

Kita jangan khawatir berlebihan terhadap keselamatan diri sendiri. Ada Allah di atas sana, yang menjaga kita semua, yang memberikan ketentuan kepada seluruh makhluk-Nya. Mau dijaga seketat apapun, jika Dia berkehendak lain, siapa yang bisa mencegah?

Di kediamannya di Bogor itu memang hanya tampak satu orang anggota Polri, dari Detasemen Pengamanan Objek Vital (Denpam Obvit) Polres Bogor. Ketika azan Ashar berkumandang, Pak Hamzah kemudian mengajak saya shalat berjamaah. Kami berdiri bersisian, juga anggota Polri yang berpangkat bintara itu.

Di hadapan Allah SWT, Sang Penguasa Tunggal Alam Raya, semua mahkluk tak ada beda; apakah itu mantan wakil presiden, bintara Polri, atau wartawan kampung, yang datang jauh dari Medan.

5 thoughts on “Kutipan Wawancara dengan Hamzah Haz

  1. Ryan Shinu Raz

    Horas !!!

    Pertama !!!
    Kalau pun tidak memberikan tanggapan karena otak lagi mandeq, rasanya bangga pernah menjadi yang pertama disini. He.he..

    Balas
  2. ayisrahja

    walah pak kangen juga, pengen tau hamzah haz kemana kok ngilang, banyak lho pak anak jaman sekarang lupa kalu kite pernah punya bapak wakil president bernapa hamzah haz

    Balas

Tinggalkan komentar