Energi Menipis, Kembalilah Jadi Manusia!

Kemajuan teknologi katanya, tapi nyatanya kita dibuat menjadi makhluk tanpa tenaga, yang tak bisa apa-apa kecuali merusak dan mengeluh, selalu kelelahan padahal tak pernah berpeluh.

Kita sudah menjadi budak sebuah agama bernama “Ekonomi”, yang salah satu ayat sucinya berbunyi: Pertumbuhan berbanding lurus dengan keuntungan. Maka demi pertumbuhan, semua dibabat, semua justru dibuat tak bisa lagi tumbuh. Akhirnya, yang kemudian kita tunggu dan menunggu kita adalah bencana.

Entah menyadari hal itu, atau sekadar latah ikut tren, di mana-mana kini orang demam energi alternatif, selain tentu saja pengobatan alternatif kepada orang pintar. (Disebut orang pintar karena bisa membodoh-bodohi orang terpelajar tapi otaknya dodol!)

Presiden sibuk mencanangkan biofuel. Di Eropa, kincir-kincir raksasa ditegakkan untuk menangkap angin. Batubara tiba-tiba jadi penting. Dst. Maaf saja, bukan tak menghargai semua kehebohan itu, tetapi masalahnya bukan di situ. Kita sudah terlalu rakus kepada energi di luar diri kita, dan akhirnya energi di dalam diri kita menjadi timbunan lemak, menguras jatah usia dan mengikis kualitas hidup kita.

Kok ngga sadar-sadar ya, gaya hidup seperti kita nikmati sekarang ini membuat bumi mengalami penuaan dini yang dahsyat. Sistem ekonomi yang bertumpu pada karbohidrat di setiap levelnya tak lama lagi akan kolaps.

Padahal, kita bisa hidup, dan memberi makna lebih kepada kehidupan, tanpa harus membakar lebih banyak energi, dan mengeluarkan lebih banyak sampah. Tetapi sekali lagi, kita tidak bisa membantah doktrin agama Ekonomi kita tadi, bahwa pertumbuhan yang membawa profit itu hanya bisa dipacu melalui peningkatan permintaan dan penawaran.

Kita seakan merasa tak lagi bisa hidup tanpa listrik, bensin, dan mesin. Potensi kita sebagai the best creature on the universe sudah lama terkubur, tertelan gemuruh mesin-mesin industri.

Aku pernah tersenyum geli melihat sebuah review tentang mobil konsep di sebuah pameran otomotif di Frankfurt. Begitu canggihnya mobil Lexus itu (merek milk Toyota untuk pasar Amerika) hingga jok-nya bisa keluar dari badan mobil, “mengantar” penumpang keluar kendaraan tanpa harus bergerak sedikit pun.

Inikah namanya pencapaian teknologi, sesuatu yang membuat manusia menjadi, maaf, seperti orang lumpuh?

Kita harus berlatih kembali menjadi manusia sesungguhnya, yang bisa tetap melanjutkan kehidupan, biar minyak di perut bumi sudah kering, walau PLN padam sepanjang tahun, walau gerigi-gerigi mesin sudah berhenti berputar.

Ini waktunya belajar mengakar jauh seperti pohon tua di hutan tropis, bukan mengambang bagai rumput liar di padang savana.

Gunakan energi di dalam dirimu, atau dia akan menjadi racun, yang mengantarmu lebih cepat ke perut bumi.

12 thoughts on “Energi Menipis, Kembalilah Jadi Manusia!

  1. jejakkakiku

    “berlatih kembali menjadi manusia seutuhnya” adalah ajakan yang saya sambut penuh dengan rasa CINTA πŸ™‚

    sampai sejauh manakah kita mau mengubah diri kita dengan menggunakan segala energi yang kita miliki agar dapat membantu menyembuhkan Bumi ini?

    Tidak perlu masuk menjadi anggota green peace, hanya perlu ‘menyadari’ menjadi manusia yang PEDULI dengan lingkungan sekitar tanpa rasa egois…

    Belajar tidak mengeluh dalam 1 hari adalah salah satunya,
    bisakah kita?

    πŸ™‚ Lov u back, and thank you!

    Balas
  2. Kandar Ag.

    Bang Nesia, saya suka frase “Kembalilah Jadi Manusia!” itu… πŸ™‚
    Teknologi memang kita ciptakan maksudnya untuk mempermudah hal yang semula sulit diraih. Tapi lama-kelaman daftar “yang sulit” kok malah ganti jadi makin bertambah. Sampai hal yang sebetulnya mudah jadi “dibuat sulit”. Matematikanya sudah kebablasan kali ya kita ini?! πŸ™‚
    Waktu belajar matematika, kita sering diberi soal “Sederhanakanlah!” Tapi, keluar dari mobil kok masuk dalam daftar soal yang harus dipecahkan, aneh! Pake teknologi yang rumit lagi!

    Manusia memang aneh! πŸ™‚

    Balas
  3. venus

    tau gak, bang, apa yg bikin saya sebel?
    kita segitu tergantung sama yg namanya teknologi, sampe kadang2 rasanya teknologi yang memperbudak kita.

    contoh nih ya…bisa ga sih kita beberapa hariiii aja lepas dari henpon dan komputer dan sambungan internet?

    yuk kita bayangin sama2….

    paraahhhh…..

    Balas
  4. Jejakkakiku

    @mbok Venus
    diriku seh bisa mbok, tanpa henpon, komputer dan sambungan internet beberapa hari. Jika memang tidak diharuskan πŸ˜€

    malah lebih santai, dan lebih irit hueheuhe…

    hayoooo…

    Balas
  5. Hedi

    Ini mirip seperti keadaan mati lampu. Bingung, panik, dsb-nya. Padahal dulu jaman listrik belum ada ya gpp. Ini kali ya yang namanya ketergantungan. Intinya emang harus balik lagi pada “manusianya” πŸ˜€

    Balas
  6. maya

    kalo menurut aku seh, tehnologi itu perlu, selama digunakan dengan bijak . kalo gada listrik, gada internet, aku gag bisa baca blognya bang toga dunk πŸ™‚

    Balas
  7. Susie

    Tak ada yang salah dengan kemajuan teknologi , mungkin kita saja yang harus bijak mempergunakannya ….
    Sebuah ajakan “utk kembali menjadi manusia ” saya sambut dengan gembira , hanya saja saya kebingungan harus memulainya dari mana …
    Mungkin Bang lebih tahu ??

    Balas
  8. Sawali Tuhusetya

    Postingan yang mencerahkan. Saya kira benar, selama ini pertumbuhan ekonomi dan saya saing bangsa telah menjadi “panglima”, nilai-nilai kemanusiaan dimarginalkan. Imbasnya sangat kompleks. Orang tak peduli lagi dengan sesama, untuk mencapai ambisi segala macam cara pun dihalalkan.
    Nah, ini sebuah persoalan bangsa yang perlu serius dipikirkan dan diterapkan dalam ranah kehidupan sehari-hari. Para pejabat sering gembar-gembor untuk menerapkan pola hidup sederhana, tapi yang terjadi justru saling berlomba untuk saling pamer kemewahan, lebih2 mereka yang duduk di Senayan itu. Aduh, udah deh, kondisi semacam itu memang benar-benar riil, bukan fiksi, hehehehe πŸ˜€
    OK, salam hangat.

    Balas
  9. meiy

    memang kita telah terperangkap dalam dunia yg menyandarkan diri pada tekno. Kenyataannya dunia memang dikuasai oleh kapitalis.

    Kita bisa memilih mau hidup dg cara yg mana. Tapi pasti sulit utk keluar dari ketergantungan pada tekno krn kita memilih menjadi manusia modern. belum lagi tersangkut byk hal lain dlm belajar menjadi manusia hehe…

    tapi modern tak berarti memperkosa bumi, org2 yg mengusulkan alternatif juga utk kebaikan…walau memang– kenyataan lagi–manusia banyak merusak saja.

    pernah aku berpikir gmn kalau aku hidup di desa saja ya, kayanya nyaman tuh, tapi itu hanya dlm bayanganku–tak muda jadi petani, apalagi di indonesia ini,

    mungkin jawabannya adalah menikmati kondisi yg kita miliki, mencoba hidup yg bermanfaat, memilih bahagia…

    Balas

Tinggalkan komentar