Aku tahu, kau akan pulang…
Kau beranjak pergi ke dunia, nun jauh, berbilang jarak dari segala. Kemudian kau pulang, berbusana kegelapan. Kau kembali, memberiku cahaya yang lama kau simpan-simpan, kau bentuk-bentuk tak setahu dunia, membentuk dirinya sendiri seperti lempung tanah liat, salju yang menyerbuk membatu, menggumpal, kau hibahkan, menaruhnya pada sebuah sudut hati, seperti persuaan cahaya dengan cahaya.
Dua cahaya menyatu jadi biru, titik warna tertinggi yang dicapai api, terbakar tanpa sempat terkejap—kau serahkan dirimu sendiri, di sini, di sebuah tempat yang jauh dari segala yang lain, bahkan jauh dari dirimu sendiri, di dekatku, di dalamku.
Pada saat yang sama, kau juga membuatku jauh dari diriku sendiri, di dekatmu, di dalammu. Jauh dari diri kita masing-masing, mengakrabi keabadian, mendekat pada sesuatu yang tak ternamai, tak tertempatkan, keindahan yang tak tergelincirkan, tak tergeserkan, tak terundukkan.
Di sini, di tempat ini, kita tertegaskan, terteguhkan, terkukuhkan, terpaskan, tersahkan. Kita ternyata harus terpisah untuk bisa bersama seperti ini, bercerai untuk rujuk menjadi sesuatu yang baru, rasa yang mengejutkan setiap kali datang, terpesona pada kebaruan yang selalu menyapa, berkilau wujud senyawa sederhana.
Kita pergi ke sana, untuk kemudian menyadari kita selalu di sana, dan akan tetap di sana, untuk kita temukan lagi, untuk kita lupakan lagi, dibarukan, disingkap, dibagi, digugurkan, disemi lagi.
Menjauh untuk kembali, berbusana kegelapan, membuka selubung cahaya, membangun cahaya, mengenali cahaya. Beringsut ke belakang, merangkak ke depan. Cahaya yang membuat bayang-bayang pepohonan menari-nari di tengah angin, di hadapan jendela tak berdaun di palung malam ini. Menengadah, merunduk.
Inilah kembara rintik, kembali ke sumbernya, merontokkan dirinya sendiri ke bumi, agar bisa mengenali samudera.
Seperti ini. Sungguh seperti itu.
jadi malu…
saya harus banyak belajar dari blog ini 😐
ah, pak edy bisa ajha, saya yg jadi malu…
*ganjen mode on*
duh mate aku bacanya ito 🙂
dan kita rela gila demi cahaya itu
mandi cahaya…
lebur, luluh bersamanya…
begitukah?
*mikir*
bener juga yah
this is…..sangat bang toga. ho ho….
Judul tulisan: Pergilah Seperti Uap, Karena Kutau, Kau Akan Kembali Sebagai Hujan
Slug tulisan: bila-cinta-tak-pernah-pergi-maka-cinta-tak-pernah-hadir
Ah, saya sedang mencoba memikirkannya lebih lanjut.. 😐
bung menulis seperti pakar sosiologi yang serba ilmiah di artikel sebelumnya. trus disini seperti pujangga yang kesurupan shakesper.
hebat bung!
dia udah pergi seperti uap, kembali ke penciptanya. tapi orang2 di sekelilingnya selalu mengingatkan saya tentangnya. mereka baru menemukan sesuatu yang disimpannya berisi nama saya. apa itu tanda dia kembali dalam ujud hujan? 😦 sediiiih sekali…
dasyat, bagi mereka yang benar-benar yakin kekuasaan kata, harus rajin membaca di sini. horas bah lae, tak terkatakan lagi…
Bener-bener sastrawan top
Sekarang mampukah kita berdiri diatas cahaya kita sendiri tanpa bayangan orang lain, karena bayangan pasti hitam, tak berwarna…
kubiarkan angin membawaku ke benua jauh
mencari cinta pada hijaunya daun
tumbuhkan tunas dan mekarkan kembang
:akulah mendungmu saat kemarau berpirau
Wah Bang, asyik kali baca tulisannya. Kata-kata terpilah dan terpilih.
Salam kenal!
senang banget membaca tulisannya.
sungai berkata kepada awan:
“cepatlah pergi dan cepatlah datang kembali”
awan pergi berubah menjadi hujan. hujan turun ke bumi menjelma kembali menjadi air, air membentuk sungai. sungai menguap membentuk awan kembali… hehe…
jadi berbahagialah dalam bentuk apapun karena pada akhirnya kita akan kembali semula.
tentang siklus cinta ya bang???
There is not a new under the sun ?
Pantesan Orde Baru eksis lagi, dengan seragam baru dan siasat yang lebih lihai. Rakyat juga tetap lugu dan dungu……………………
….tetap bersemangat menyanyikan Indonesia Raya, meski sudah sekarat karena kelaparan.
Hidup Republik Cinta!
lagi, tulisan indah dari bang toga 🙂
Harus adakah peleburan itu?
Jadi ingat lagu .. cinta kan membawa mu kembali 🙂 sejauh apapun dia pergi .. pasti kembali juga. Seperti seorang pengembara atau perantau, yang selalu rindu pulang.
kekuasaan kata(seperti kata panda) membuatku kembali lagi ke sini, membacanya sekali lagi, indah
cinta kalipun awak sama tulisanmu, Lae…
kangen sekali lama tidak membaca tulisan seperti ini…
dan ‘baju baru’ ini aku suka banged, karna mirip banged juga dengan ‘bajuku’ *blush*
Jadi teringat kalimat ini (lupa pilem apaan):
Kamu adalah dirimu yg kamu pikirkan, bukan yg orang lain pikirkan.
Well.. good one folk.
errander… itu lagu kebangsaanku dengannya
“tapi mungkin sekarang dia benar-benar akan pergi”
hiks..hiks…hiks…
hmhh…… tfs ya bang… selalu istimewa…speechless deh… Cahaya…
puitisnyaa ^-^
ckckck…
Ping balik: Karena kutau, kau akan datang « Negeri Mimpi…
Kuereeen… Oiya, ini puisi apa bukan ya?
“….Inilah kembara rintik, kembali ke sumbernya, merontokkan dirinya sendiri ke bumi, agar bisa mengenali samudera”
Hujan memang menginspirasi, mengeksploitasi, dan mengiringi peristiwa….
Salam kenal
saya suka kali judulnya bang. romantis kali 😉 tadi saya dari blog negeri mimpi. ternyata di sini sumbernya, hehehe
saya suka kali judulnya bang. romantis kali 😉 tadi saya dari blog negeri mimpi. ternyata di sini sumbernya, hehehe…
Ping balik: Pergilah Seperti Uap, Karena Kutau, Kau Akan Kembali Sebagai Hujan (Part II) « Nesiaweek Interemotional Edition
Nyaman memang kalau dia bisa kembali seperti hujan, yg kurang nyaman itu, kl ternyata kita ini langitnya, cuma kebagian uapnya dan sekarang dia sudah pulang kerumahnya sebagai hujan.. 🙂
* apakabar lae? 🙂 *
satu kata…..ajiibb!!
Reblogged this on annisza's world and commented:
????
Reblogged this on Marissya Daud.