Kenalan Yuk

Sabtu, 10 Mei 1975, sekitar pukul 22.00.

Bapak panik. Ibu mengerang kesakitan. Tak ada listrik, tak ada bidan, apalagi dokter atau ambulan. Manduamas, kampung di perbatasan Tapanuli Tengah dan Aceh Selatan itu, saat itu hanya dapat dicapai lewat transportasi sungai.

Hanya mereka berdua, dan mungkin Tuhan di atas sana, yang sudah memanggil tiga anak mereka terdahulu. Entah karena cinta-Nya, atau sebab apapun. Yang jelas, saat ketiganya sakit, tak ada obat untuk menolongnya bertahan.

Dan, kun fa yakun. Adalah aku.

*****

Bersama keluarga, istirahat di pinggir Danau Toba saat mudik lebaran. (Klik untuk memperbesar)

Kemiskinan memang pernah membuat aku sampai pada satu titik kesimpulan, bahwa tak sungguh ada Tuhan di atas sana yang menyayangi kami. Kebalikan dengan Orhan Pamuk, saat kecil aku malah berpikir, kalau Dia hanya mengurusi orang kaya.

“Na ingkon sikkola do ho, Anak hasian… Asa boi hehe hita di pudian ni ari,” kata Bapak, yang meyakini, hanya dengan sekolah, aku bisa keluar dari belitan kemiskinan itu. Untuk itu, sawah, ladang, dijadikan Bapak taruhan, dijual untuk biaya belajar.

Aku pun harus menyelesaikan kuliah sambil jualan kelapa di pasar Bulak, Klender, yang sampai sekarang baunya masih bisa kukenang. Persis di belakang Yogya Department Store, yang terpanggang bersama ratusan nyawa pada Mei 1998 itu.

Sekarang bekerja sebagai wartawan koran lokal di Medan, berjuang menulis buku, melakukan kerja dan usaha apa saja yang tidak merampas hak orang lain.

Tinggal di pinggiran Medan, bersama seorang perempuan biasa (emang gimana perempuan luar biasa), ibu dari anakku yang lucu-lucu, dan ibuku sendiri yang sakit-sakitan sepeninggal Bapak.

*****

Tak terasa sudah punya anak yang sekolah. Seperti baru tadi malam aku berkutat dengan PR dari Bu Guru

Aku seperti mendapat “kutuk” untuk selalu berpikir, tentang berbagai hal yang bagi orang lain mungkin sama sekali tak perlu dipikirkan. Terlalu banyak mengapa…

Mungkin benar, selalu ada hikmah bahkan pada “nasib” buruk sekalipun. Untungnya dibesarkan dalam kemiskinan, aku gampang diberi makan. Makanan apa saja masuk. Kaki lima lahap, bintang lima berharap. (Berharap ada yang nraktir). Ada ungkapan kami orang Batak; “Semua yang berkaki empat kumakan, kecuali meja. Itu pun karena kerasnya.”

Sayangnya, aku sangat susah diajak tidur (?) Maksudnya, aku menderita sindrom Fatima, alias Fayah Tidur Malam.

Dan dengan semua perih dan legitnya, aku toh tetap mencintai kehidupan, dan selalu ingin merayakannya. Hidup adalah pilihan termanis dibanding apapun, karena mati pasti sangat membosankan. Sepertinya sih…

Akhirnya, terima kasih sudah meluangkan waktu membaca tulisan seperti ini. Lagi susah tidur juga ya?

Toga Nainggolan, Medan, Id.